Nama : Achmad Taufik
NPM : 30410096
Kelas : 3id03
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita sebagai manusia
harus mengetahui tentang asas-asas pengetahuan lingkungan. tujuannya adalah
untuk kita harus mentaati aturan-aturan yang telah berlaku agar lingkungan yang
ada di sekitar kita pada khususnya dan lingkungan diseluruhnya pada umumnya
tidak terjadi kerusakan. Karena sekarang banyak terjadi kerusakan pada
lingkungan di dunia yang disebabkan ketidak tahuan manusia terhadap asas-asas
tersebut, atau mungkin memang itu adalah ulah manusia yang hanya memikirkan
materi dan kepentingannya diri sendiri untuk meraup banyak keuntungan tanpa
memikirkan dampak yang terjadi pada lingkungan yang ada di bumi nanti.
Dalam ilmu lingkungan
kita mengenal berbagai macam tentang sumber daya alam, baik itu yang dapat
diperbarui atau yang tidak dapat diperbarui. Sumber daya alam tersebut harus di
gunakan dengan sebaik-baiknya. Asas di dalam suatu
ilmu pada dasarnya merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang
kemudian digunakan sebagai landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan
situasi yang lebih spesifik. Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan
pengujian metodologi secara terus menerus dan matang, sehingga diakui
kebenarannya oleh ilmuwan secara meluas. Tetapi ada pula asas yang hanya diakui
oleh segolongan ilmuwan tertentu saja, karena asas ini hanya merupakan
penyamarataan secara empiris saja dan hanya benar pada situasi dan kondisi yang
lebih terbatas, sehingga terkadang asas ini menjadi bahan pertentangan. Ilmu lingkungan
merupakan salah satu ilmu yang mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari
jasad hidup (termasuk manusia) dengan lingkungannya, antara lain dari aspek
sosial, ekonomi, kesehatan, pertanian, sehingga ilmu ini dapat dikatakan
sebagai suatu poros, tempat berbagai asas dan konsep berbagai ilmu yang saling
terkait satu sama lain untuk mengatasi masalah hubungan antara jasad hidup
dengan lingkungannya.
Pada
makalah kali ini penulis mengambil contoh pelanggaran asas-asas pengetahuan
lingkungan yaitu masalah sampah di lingkungan kota Bandung Metropolitan.
Persoalan sampah di Kota Bandung seakan tidak pernah berhenti. Upaya pemerintah
di tingkat provinsi,kota, dan kabupaten untuk mengatasi sampah terus berlanjut.
Beragam program untuk membersihkan nama Bandung dari sebutan “kota sampah”
terus dilakukan. Persoalan sampah di Kota Kembang selalu menjadi sorotan
berbagai pihak. Setelah longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah,
limbah domestik rumah tangga ini menjadi bahan diskusi menarik. Memang, selain
menimbulkan korban jiwa, kerugian material, juga berdampak buruk pada
lingkungan. Sampah ini membuat julukan Kota Kembang berubah menjadi “kota
terkotor”. Bahkan, predikat itu sempat mempermalukan Bumi Parahiyangan dengan
melekatnya sebutan “Bandung Lautan Sampah”. Kenyataannya, ratusan tempat
pembuangan sementara (TPS) yang ada di Kota Bandung selalu penuh dijejali
limbah sampah. Pemerintah Kota dan Provinsi Jabar pun resah dengan kondisi
penumpukan yang semakin hari bertambah banyak itu. Segala upaya mereka
rembukkan dengan berbagai pihak untuk mengatasi persoalan sampah. Pemandangan
kotor di penjuru Kota Bandung akibat sampah itu menjadi cemoohan warga
setempat.
1.2 TUJUAN
Sampai saat ini pemerintah daerah kota
Bandung masih belum menemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan
sampah. Beberapa alternatif solusi telah dirancang oleh Dinas kebersihan kota
Bandung akan tetapi masih saja kontroversi, ada yang mendukung dan menolak.
Sehubungan hal tersebut pada makalah ini akan dipaparkan problematika
penangganan sampah dikota Bandung sebagai kasus lokal yang akan dikaji
berdasarkan pendekatan kajian literarur untuk mengidentifikasi permasalahan dan
alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah di
kota Bandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
EKOLOGI DAN ILMU LINGKUNGAN
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dengan lingkungannya.
Berasal dari kata Yunani oikos (“habitat”) dan logos (“ilmu”). Sangat
diperhatikan dengan hubungan energi dan menemukannya kembali kepada matahari
kita yang merupakan sumber energi yang digunakan dalam fotosintesis
Habitat (berasal dari kata dalam
bahasa Latin yang berarti menempati) adalah tempat suatu spesies tinggal dan
berkembang. Pada dasarnya, habitat adalah lingkungan paling tidak lingkungan
fisiknya—di sekeliling populasi suatu spesies yang mempengaruhi dan
dimanfaatkan oleh spesies tersebut. Menurut Clements dan Shelford (1939),
habitat adalah lingkungan fisik yang ada di sekitar suatu spesies, atau
populasi spesies, atau kelompok spesies, atau komunitas.
Dalam ilmu ekologi, bila pada suatu
tempat yang sama hidup berbagai kelompok spesies (mereka berbagi habitat yang
sama) maka habitat tersebut disebut sebagai biotop. Bioma adalah sekelompok
tumbuhan dan hewan yang tinggal di suatu habitat pada suatu lokasi geografis
tertentu.
Pembagian Ekologi Menurut Habitatnya:
Ekologi perairan tawar
Ekologi laut
Ekologi darat
Menurut garis Taxonomi:
Ekologi tumbuhan
Ekologi vertebrata
Ekologi serangga
Ekologi jasad renik
ORGANISASI KEHIDUPAN:
BIOSFIR
ECOSISTEM
COMMUNITY
POPULATION
ORGANISME
Ekologi adalah dasar pokok ilmu lingkungan.
Inti permasalahan lingkungan hidup
pada hakekatnya adalah ekologi yakni hubungan makluk hidup, khususnya manusia
dengan lingkunganya. Komponen- komponen
tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan
yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri
dari ikan, tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai komponen biotik,
sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan
oksigen yang terlarut dalam air.
ILMU LINGKUNGAN
Ilmu lingkungan adalah ekologi yang
menerapkan berbagai azas dan konsepnya kepada masalah yang lebih luas,yang
menyangkut pula hubungan manusia dengan lingkungannya. Ilmu Lingkungan adalah
ekologi terapan. Ilmu lingkungan ini mengintegrasikan berbagai ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik anatara jasad hidup (termasuk manusia) dengan
dengan lingkungannya.
Ilmu lingkungan (environmental science atau envirology)
adalah ilmu yang mempelajari tentang lingkungan hidup. Ilmu Lingkungan adalah
suatu studi yang sistematis mengenai lingkungan hidup dan kedudukan manusia
yang pantas di dalamnya. Perbedaan utama ilmu lingkungan dan ekologi adalah
dengan adanya misi untuk mencari pengetahuan yang arif, tepat (valid), baru, dan menyeluruh tentang
alam sekitar, dan dampak perlakuan manusia terhadap alam. Misi tersebut adalah
untuk menimbulkan kesadaran, penghargaan, tanggung jawab, dan keberpihakan
terhadap manusia dan lingkungan hidup secara menyeluruh.
Ilmu lingkungan merupakan perpaduan
konsep dan asas berbagai ilmu (terutama ekologi, ilmu lainnya: biologi,
biokimia, hidrologi, oceanografi, meteorologi, ilmu tanah, geografi, demografi,
ekonomi dan sebagainya), yang bertujuan untuk mempelajari dan memecahkan
masalah yang menyangkut hubungan antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Ilmu
lingkungan merupakan penjabaran atau terapan dari ekologi.
Ilmu Lingkungan merupakan salah satu
ilmu yang mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari jasad hidup (termasuk
manusia) dengan lingkungannya, antara lain dari aspek sosial, ekonomi,
kesehatan, pertanian, sehingga ilmu ini dapat dikatakan sebagai suatu poros,
tempat berbagai asas dan konsep berbagai ilmu yang saling terkait satu sama
lain untuk mengatasi masalah hubungan antara jasad hidup dengan lingkungannya.
Asas di dalam suatu ilmu pada
dasarnya merupakan penyamarataan kesimpulan secara umum, yang kemudian
digunakan sebagai landasan untuk menguraikan gejala (fenomena) dan situasi yang
lebih spesifik. Asas dapat terjadi melalui suatu penggunaan dan pengujian metodologi secara terus menerus dan
matang, sehingga diakui kebenarannya oleh ilmuwan secara meluas. Tetapi ada
pula asas yang hanya diakui oleh segolongan ilmuwan tertentu saja, karena asas
ini hanya merupakan penyamarataan secara empiris saja dan hanya benar pada
situasi dan kondisi yang lebih terbatas, sehingga terkadang asas ini menjadi
bahan pertentangan. Namun demikian sebaliknya apabila suatu asas sudah diuji
berkali-kali dan hasilnya terus dapat dipertahankan, maka asas ini dapat
berubah statusnya menjadi hukum. Begitu pula apabila asas yang mentah dan masih
berupa dugaan ilmiah seorang peneliti, biasa disebut hipotesis Hipotesis ini
dapat menjadi asas apabila diuji secara terus menerus sehingga memperoleh
kesimpulan adanya kebenaran yang dapat diterapkan secara umum. Untuk
mendapatkan asas baru dengan cara pengujian hipotesis ini disebut cara induksi
dan kebanyakan dipergunakan dalam bidang-bidang biologi, kimia dan fisika. Disini
metode pengumpulan data melalui beberapa percobaaan yang relatif
terbatas untuk membuat kesimpulan yang menyeluruh. Sebaliknya cara lain yaitu
dengan cara deduksi dengan menggunakan kesimpulan umum untuk menerangkan
kejadian yang spesifik. Asas baru juga dapat diperoleh dengan cara simulasi
komputer dan penggunaan model matematika untuk mendapatkan semacam tiruan
keadaan di alam (mimik).
Cara lain juga dapat diperoleh dengan metode perbandingan misalnya dengan
membandingkan antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Cara-cara untuk
mendapatkan asas tersebut dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya.
Asas di dalam suatu ilmu yang sudah
berkembang digunakan sebagai landasan yang kokoh dan kuat untuk mendapatkan
hasil, teori dan model seperti pada ilmu lingkungan. Untuk menyajikan asas dasar ini dilakukan dengan mengemukakan
kerangka teorinya terlebih dahulu, kemudian setelah dipahami pola dan
organisasi pemikirannya baru dikemukakan fakta-fakta yang mendukung dan
didukung, sehingga asas-asas disini sebenarnya merupakan satu kesatuan yang
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain (sesuai dengan urutan
logikanya).
MIND MAP ASAS-ASAS PENGETAHUAN LINGKUNGAN
Gambar 2.1
Hubungan logis di antara 14 asas ilmu lingkungan
ASAS 1 (HUKUM THERMODINAMIKA I)
Semua energi yang memasuki sebuah organisme hidup, populasi atau
ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan. Energi
dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain tetapi tidak dapat hilang,
dihancurkan atau diciptakan.
Asas ini adalah sebenarnya serupa
dengan hokum Thermodinamika I, yang sangat fundamental dalam fisika. Asas ini dikenal sebagai hukum
konservasi energi dalam persamaan matematika.
Contoh:
Banyaknya kalori, energi yang terbuang dalam bentuk makanan diubah oleh
jasad hidup menjadi energi untuk tumbuh, berbiak, menjalankan proses
metabolisme, dan yang terbuang sebagai panas.
Pemisahan energi yang masuk jadi dua
komponen.
Jumlah energi yang masuk dan keluar
dari suatu pemisahan atau suatu proses, berupa materi.
Jumlah energi yang masuk dan keluar
dari suatu pemisahan atau suatu proses, berupa tenaga atau panas.
Asas 1 ini disebut juga dengan hukum
konservasi energi, dalam ilmu fisika sering disebut sebagai hukum termodinamika
pertama. Asas ini menerangkan bahwa energi dapat diubah, dan energi yang
memasuki jasad hidup, populasi ataupun ekosistem dianggap sebagai energi yang
tersimpan ataupun yang terlepaskan, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
kehidupan sebagai pengubah energi. Dengan demikian dalam sistem kehidupan dapat
ditemukan berbagai strategi untuk mentransformasi energi, maka dibutuhkan
“pembukuan masukan dan keluaran kalori dalam sistem kehidupan” Contohnya makanan yang dimakan oleh hewan.
Dari gambar di atas dapat terlihat
bahwa ternyata energi ada yang dapat dimanfaatkan dan ada pula yang terbuang
dan hal ini spesifik untuk masing-masing spesies hewan tergantung bagaimana
kemampuan dan strategi hewan tersebut untuk melawan alam lingkungannya.
Keberhasilan dalam melawan lingkungan dapat diukur dengan peningkatan jumlah
populasinya.
Gambar 2.2 Energi panas yang
jatuh di bumi dipakai oleh tumbuhan dan genangan air, serta dipantulkan oleh
lahan terbuka dan bangunan.
ASAS 2
Tak ada system pengubahan energi yang betul- betul efisien.
Pengertian:
Asas ini tak lain adalah hokum
Thermodinamika II, Ini berarti energi yang tak pernah hilang dari alam raya,
tetapi energi tersebut akan terus diubah dalam bentuk yang kurang bermanfaat.
Asas ini sama dengan hukum termodinamika kedua dalam
ilmu fisika. Hal ini berarti meskipun energi itu tidak pernah hilang, namun
demikian energi tersebut akan diubah dalam bentuk yang kurang bermanfaat.
Secara keseluruhan energi di planet kita ini terdegradasi dalam bentuk panas
tanpa balik, yang kemudian beradiasi ke angkasa.
Dalam sistem biologi, energi yang
dimanfaatkan baik oleh jasad hidup, populasi maupun ekosistem kurang efisien,
karena masukan energi dapat dipindahkan
dan digunakan oleh organisme hidup yang lain. Contohnya pada piramida
makanan, tingkatan konsumen yang paling bawah mendapatkan asupan energi yang
banyak, sebaliknya konsumen paling atas
hanya mendapatkan sedikit, disamping itu pada setiap tingkatanpun energi tidak
dimanfaatkan secara efisien (banyak terbuang).
Energi yang dapat dimanfaatkan oleh
kita seperti tumbuhan, hewan, ikan dsb., itu termasuk kategori sumber alam,
namun demikian apakah sumber alam ini dapat diukur manfaatnya dan apa batasan
sumber alam tersebut?.
Sumber alam adalah segala sesuatu
yang diperlukan oleh organisme hidup, populasi, atau ekosistem yang
pengadaannya hingga ke tingkat optimum atau mencukupi, sehingga akan
meningkatkan daya pengubahan energi.
ASAS 3
Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, termasuk kategori
sumberdaya alam.
Pengertian:
Pengubahan energi oleh system biologi
harus Berlangsung pada kecepatan yang sebanding dengan adanya materi dan energi
di lingkungannya. Pengaruh ruang secara asas adalah beranalogi dengan materi
dan energi sebagai sumber alam.
Contoh:
Ruang yang sempit: dpt mengganggu
proses pembiakan organisme dg kepadatan tinggi.
Ruang yang terlalu luas: jarak antar individu dalam
populasi semakin jauh, kesempatan bertemu antara jantan dan betina semakin
kecil sehingga pembiakan akan terganggu.
Jauh dekatnya jarak sumber makanan
akan berpengaruh terhadap perkembangan populasi.
Waktu sebagai sumber alam tidak
merupakan besaran yang berdiri sendiri. Misal hewan mamalia dipadang pasir,
pada musim kering tiba persediaan air habis di lingkungannya, maka harus
berpindah kelokasi yang ada sumber airnya. Berhasil atau tidaknya hewan
bermigrasi tergantung pada adanya cukup waktu dan energi untuk menempuh jarak
lokasi sumber air.
Keaneka-ragaman juga merupakan
sumberdaya alam. Semakin beragam jenis makanan suatu spesies semakin kurang
bahayanya apabila menghadapi perubahan lingkungan yang dapat memusnahkan sumber makanannya.
Materi dan energi sudah jelas
termasuk kedalam sumber alam. Ruang yang dimanfaatkan oleh organisme hidup
untuk hidup, berkembang biak dsb. dapat dianalogkan dengan materi dan energi,
karena dibutuhkan, sehingga secara asas termasuk katagori sumber alam. Begitu
pula dengan waktu, meskipun tidak dapat berdiri sendiri, namun termasuk
kategori sumber alam, karena berapa waktu yang dibutuhkan oleh mahluk hidup
untuk mendapatkan makanan. Keanekaragaman juga termasuk ke dalam kategori
sumber alam, karena apabila suatu spesies hanya memakan satu spesies saja akan
mudah terancam punah, namun apabila makanannya beranekaragam dia akan mampu
“survive”.
Asas 3 ini mempunyai implikasi yang
penting bagi kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraannya
ASAS 4
Untuk semua kategori sumber daya alam, kalau pengadaannya sudah mencapai
optimum, pengaruh unit kenaikannya
sering menurun dengan penambahan sumberalam itu sampai ke suatu tingkat
maksimum. Melampaui batas maksimum ini tak akan ada pengaruh yang menguntungkan
lagi.
Untuk semua kategori sumber alam (kecuali keanekaragaman dan
waktu) kenaikan pengadaannya yang melampui batas maksimum, bahkan akan berpengaruh merusak
karena kesan peracunan. Ini adalah asas penjenuhan. Untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran
yang disebabkan oleh pengadaan
sumberalam yang sudah mendekati batas
maksimum.
Asas 4 tersebut terkandung arti bahwa
pengadaan sumberalam mempunyai batas optimum, yang berarti pula batas maksimum,
maupun batas minimum pengadaan sumberalam akan mengurangi daya kegiatan sistem
biologi.
Contoh:
Pada keadaan lingkungan yang sudah
stabil, populasi hewan atau tumbuhannya cenderung naik-turun (bukan naik terus
atau turun terus). Maksudnya adalah akan terjadi pengintensifan perjuangan
hidup, bila persediaan sumberalam
berkurang. Tetapi sebaliknya, akan terdapat ketenangan kalau sumberalam
bertambah.
Untuk semua kategori sumberdaya alam
(kecuali keanekaragaman dan waktu) kenaikan pengadaannya yang melampaui batas
maksimum, bahkan akan berpengaruh merusak karena kesan peracunan. Ini adalah
asas penjenuhan. Untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran
yang disebabkan oleh pengadaan sumber alam yang sudah mendekati batas maksimum.
Pada asas ini mempunyai arti bahwa
pengadaan sumber alam mempunyai batas optimum, yang berarti bahwa batas maksimum
maupun minimum sumber alam akan mengurangi daya kegiatan sistem biologi. Dari
sini dapat ditarik suatu arti yang penting, yaitu karena adanya ukuran optimum
pengadaan sumber alam untuk populasi,
maka naik turunnya jumlah individu populasi itu tergantung pada pengadaan
sumber alam pada jumlah tertentu.
ASAS 5
Pada asas 5 ini ada dua hal
penting, pertama jenis sumber alam yang tidak dapat menimbulkan
rangsangan untuk penggunaan lebih lanjut, sedangkan kedua sumber alam yang
dapat menimbulkan rangsangan untuk dapat digunakan lebih lanjut.
Contoh:
Suatu jenis hewan sedang mencari
berbagai sumber makanan. Kemudian didapatkan suatu jenis tanaman yang melimpah
di alam, maka hewan tersebut akan memusatkan perhatiannya kepada penggunaan
jenis makanan tersebut. Dengan demikian, kenaikan sumberalam (makanan)
merangsang kenaikan pendayagunaan.
ASAS 6
Individu dan spesies yang
mempunyai lebih banyak keturunan daripada saingannya, cenderung berhasil
mengalahkan saingannya.
Pengertian:
Asas ini adalah pernyataan teori
Darwin dan Wallace. Pada jasad hidup
terdapat perbedaan sifat keturunan Dalam hal tingkat adaptasi terhadap faktor
lingkungan fisik atau biologi. Kemudian timbul kenaikan kepadatan populasinya
sehingga timbul persaingan. Jasad hidup yang kurang mampu beradaptasi akan
kalah dalam persaingan. Dapat diartikan pula bahwa jasad hidup yang adaptif
akan mampu menghasilkan banyak keturunan daripada yang non-adaptif.
Pada asas ini berlaku “seleksi alam”,
artinya bagi spesies-spesies yang mampu beradaptasi baik dengan faktor biotik
maupun abiotik, dia akan berhasil daripada yang tidak dapat menyesuaikan diri.
Dapat diartikan pula, spesies yang adaptif akan mampu menghasilkan keturunan
lebih banyak daripada yang non adaptif, Sehingga individu-individu yang adaptif
ini mempunyai kesan lebih banyak merusak
ASAS 7
Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebihtinggi di alam yang “mudah
diramal”.
Pengertian :
“Mudah diramal” : : adanya
keteraturan yang pasti pada pola faktor lingkungan pada suatu periode yang
relative lama. Terdapat
fluktuasi turun-naiknya kondisi lingkungan di semua habitat, tetapi mudah dan
sukarnya untuk diramal berbeda dari satu
habitat ke habitat lain.
Dengan mengetahui keadaan optimum
pada faktor lingkungan bagi kehidupan
suatu spesies, maka perlu diketahui
berapa lama keadaan tersebut dapat bertahan. Pada asas ini arti kata “mudah diramal” ialah adanya
keteraturan yang pasti pada pola faktor lingkungan dalam suatu periode yang
relatif lama. Adanya fluktuasi turun-naiknya kondisi lingkungan, besar-kecilnya
fluktuasi, dan dan sukar-mudahnya untuk diramal berbeda untuk semua habitat.
Sehingga diharapkan pada setiap lingkungan adanya penyebaran spesies yang
berbeda-beda kepadatannya. Apabila terjadi perubahan lingkungan sedemikian
rupa, maka akan terjadi perubahan pengurangan individu yang sedemikian rupa
sampai pada batas yang membahayakan individu-individu spesies tersebut.
Lingkungan yang stabil secara fisik merupakan lingkungan yang mempunyai jumlah
spesies yang banyak, dan mereka dapat melakukan penyesuaian terhadap
lingkungannya tersebut (secara evolusi). Sedangkan lingkungan yang tidak stabil
adalah lingkungan yang dihuni oleh spesies yang jumlahnya relatif sedikit.
Menurut Sanders (1969) bahwa komunitas fauna dasar laut mempunyai
keanekaragaman spesies terbesar, hal ini dijumpai pada habitat yang sudah
stabil sepanjang masa dan lama. Kemudian diinterpretasikan oleh Slobodkin dan
Sanders (!969) sebagai pengaruh lingkungan yang mudah diramal (stabil). Maksudnya
ialah semakin lama keadaan lingkungan dalam kondisi yang stabil, maka semakin
banyak keanekaragaman spesies yang muncul disitu sebagai akibat berlangsungnya
proses evolusi. Menurut Pilelou (1969) keadaan iklim yang stabil sepanjang
waktu yang lama, tidak saja melahirkan keanekaragaman spesies yang tinggi,
tetap juga akan menimbulkan keanekaragaman pola penyebaran kesatuan populasi
ASAS 8
Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson,
bergantung kepada bagaimana niche dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan
takson tersebut.
Pengertian:
Kelompok taksonomi tertentu dari
suatu jasad hidup ditandai oleh keadaan lingkungannya yang khas (niche), tiap
spesies mempunyai niche tertentu. Spesies dapat hidup berdampingan dengan
spesies lain tanpa persaiangan, karena masing-masing mempunyai keperluan dan
fungsi yang berbeda di alam.
Pada asas ini menyatakan bahwa setiap
spesies mempunyai nicia tertentu, sehingga spesies-spesies tersebut dapat
berdampingan satu sama lain tanpa berkompetisi, karena satu sama lain mempunyai
kepentingan dan fungsi yang berbeda di
alam. Tetapi apabila ada kelompok taksonomi yang terdiri atas spesies dengan
cara makan serupa, dan toleran terhadap lingkungan yang bermacam-macam serta
luas, maka jelas bahwa lingkungan tersebut hanya akan ditempati oleh spesies
yang keanekaragamannya kecil.
ASAS 9
Keanekaragaman komunitas sebanding dengan biomassa dibagi produktivitas.
T = K x (B/P) ; D ≈ T
T = waktu rata-rata penggunaan energi
K = koefisien tetapan
B = biomassa
P = produktivitas
D = keanekaragaman
Pengertian:
Asas ini mengandung arti, bahwa
efisiensi penggunaan aliran energidalam sistem biologi akan meningkat dengan
meningkatnya kompleksitas organisasi sistem biologi dalam suatu komunitas.
Pada asas ini menurut Morowitz (1968)
bahwa adanya hubungan antara biomassa, aliran energi dan keanekaragaman dalam
suatu sistem biologi.
ASAS 10
Pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomasa dengan
produktivitas (B/P) dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot.
Pengertian:
Sistem biologi menjalani evolusi yang
Mengarah kepada peningkatan efisiensi penggunaan energi dalam lingkungan fisik
yang stabil, dan memungkinkan berkembangnya keaneka-ragaman.
Dalam asas ini dapat disimpulkan
bahwa sistem biologi mengalami evolusi yang mengarah kepada peningkatan
efisiensi penggunaan energi dalam lingkungan fisik yang stabil, yang
memungkinkan berkembangnya keanekaragaman. Dengan kata lain kalau kemungkinan
produktivitas maksimum sudah ditetapkan oleh energi matahari yang masuk kedalam
ekosistem, sedangkan keanekaragaman dan biomassa masih dapat meningkat dalam
perjalanan waktu, maka jumlah energi yang tersedia dalam sistem biologi itu
dapat digunakan untuk menyokong biomassa yang lebih besar. Apabila asas ini
benar, maka dapat diharapkan bahwa dalam komunitas yang sudah berkembang lanjut
pada proses suksesi, rasio biomassa produktivitas akan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan komunitas yang masih muda. Pada kenyataan di alam memang
demikian, sebab spesies bertambah, dan ditemukan pula tumbuhan berkayu sehingga
diperoleh stratifikasi.
Implikasi dari asas ini bahwa sebuah
komunitas dapat dibuat tetap muda dengan jalan memperlakukan fluktuasi iklim
yang teratur. Atau pada komunitas buatan lahan pertanian dengan jalan mengambil
daun-daunannya untuk makanan hewan.
ASAS 11
Sistem yang sudah mantap (dewasa) akan mengekploitasi yang belum mantap
(belum dewasa).
Pengertian:
Ekosistem, populasi atau tingkat
makanan yang sudah dewasa memindahkan energi,
biomasa, dan keanekaragaman dari tingkat organisasi yang belum dewasa.
Dengan kata lain, energi, materi, dan keanekaragaman mengalir melalui suatu
kisaran yang menuju ke arah organisasi yang lebih kompleks. (Dari subsistem
yang rendah keanekara-gamannya subsistem yang tinggi keanekaragamannya).
Arti dari asas ini adalah pada ekosistem, populasi yang sudah dewasa memindahkan energi,
biomassa, dan keanekaragaman tingkat organisasi ke arah yang belum dewasa.
Dengan kata lain, energi, materi dan keanekaragaman mengalir melalui suatu kisaran
yang menuju ke arah organisasi yang lebih kompleks, atau dari subsistem yang
lebih rendah keanekaragamannya ke subsistem yang lebih tinggi keanekaragamannya
ASAS 12
Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung pada kepentingan
relatifnya dalam keadaan suatu lingkungan.
Pengertian:
Populasi dalam ekosistem yang belum
mantap, kurang bereaksi terhadap perubahan lingkungan fisikokimia dibandingkan
dengan populasi dalam ekosistem yang sudah mantap. Populasi dalam lingkungan
dengan kemantapan fisiko kimia yang cukup lama, tak perlu berevolusi untuk
meningkatkan kemampuannya beradaptasi dengan keadaan yang tidak stabil.
Asas ini merupakan kelanjutan dari
asas 6 dan 7. Apabila pemilihan (seleksi) berlaku, tetapi keanekaragaman terus
meningkat di lingkungan yang sudah stabil, maka dalam perjalanan waktu dapat
diharapkan adanya perbaikan terus-menerus dalam sifat adaptasi terhadap
lingkungan. Jadi, dalam ekosistem yang sudah mantap dalam habitat (lingkungan )
yang sudah stabil, sifat responsive terhadap fluktuasi faktor alam yang tak
terduga ternyata tidak diperlukan. Yang berkembang justru adaptasi peka dari
perilaku dan biokimia lingkungan sosial dan biologi dalam habitat itu. Evolusi
pada lingkungan yang sukar ditebak perubahan faktor alamnya cenderung
memelihara daya plastis anggota populasi. Sedangkan evolusi pada lingkungan
yang mantap, beranekaragam secara biologi cenderung menggunakan kompleksitas
itu untuk bereaksi terhadap kemungkinan beraneka-macam perubahan.
Implikasi dari asas ini bahwa sesungguhnya
tidak ada sebuah strategi evolusi yang terbaik dan mandiri, semua tergantung
pada kondisi lingkungan fisik. Kesimpulannya bahwa populasi pada ekosistem yang
belum mantap, kurang bereaksi terhadap perubahan lingkungan fisikokimia
dibandingkan dengan populasi pada
ekosistem yang sudah mantap.
ASAS 13
Lingkungan yang secara fisik mantap memungkinkan terjadinya penimbunan
keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang kemudian dapat
menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.
Asas ini merupakan penjabaran dari
asas 7, 9 dan 12. Pada komunitas yang mantap, jumlah jalur energi yang masuk
melalui ekosistem meningkat, sehingga apabila terjadi suatu goncangan pada
salah satu jalur, maka jalur yang lain akan mengambil alih, dengan demikian
komunitas masih tetap terjaga kemantapannya. Apabila kemantapan lingkungan
fisik merupakan suatu syarat bagi keanekaragaman biologi, maka kemantapan
faktor fisik itu akan mendukung kemantapan populasi dalam ekosistem yang mantap
dan komunitas yang mantap mempunyai umpan-balik yang sangat kompleks. Disini
ada hubungan antara kemantapan ekosistem dengan efisiensi penggunaan
energi.
ASAS 14
Derajat pola keteraturan naik-turunnya populasi tergantung pada jumlah
keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan mempengaruhi populasi itu.
Asas ini merupakan kebalikan dari
asas ke 13, tidak adanya keanekaragaman yang tinggi pada rantai makanan dalam
ekosistem yang belum mantap, menimbulkan derajat ketidakstabilan populasi yang
tinggi.
Ciri-Ciri Lingkungan/ Komunitas yang
Mantap:
• Jumlah jalur energi yang masuk melalui ekosistem meningkat
(banyak)
• Lingkungan fisik mantap (mudah“diramal”)
• Sistem control umpan balik (feedback) komunitas sangat
kompleks
• Efisiensi penggunaan energi
• Tingkat keanekaragaman tinggi
BAB
III
STUDI KASUS DAN ANALISIS
STUDI KASUS DAN ANALISIS
3.1 Studi Kasus
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya
aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau
sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita
terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan
jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh
karena itu pengelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya
hidup masyrakat.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya
hidup sangat berpengaruh pada
volume
sampah. Dari Data menunjukan bahwa kota Bandung setiap harinya menghasilkan
sampah sebanyak 8.418 m3 dan hanya bisa terlayani sekitar 65% dan sisa tidak
dapat diolah.
Tabel
3.1 Produksi Sampah Metropolitan Bandung
1. Jenis Sampah
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2
(dua) yaitu organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik
(sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup,
seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi
(membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti
kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara
alami. Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Bandung merupakan
sampah basah, yaitu mencakup 60-75% dari total volume sampah.
2. Mekanisme pengelolaan sampah
Sampah yang dihasilkan kota Bandung
merupakan sampah yang berasal dari beberapa sektor yaitu: (1) pemukiman, (2)
Daerah komersil, (3) Industri, (4) perkantoran dan lainnya (5) Sapuan jalan.
Pengelolaan sampah kota Bandung masih menggunakan pengolahan yang sederhana
yaitu pengumpulan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pemilahan
dilaksanakan tidak pada tingkat rumah tangga akan tetapi pada tempat pembuangan
sementara dan itupun bukan oleh petugas kebersihan akan tetapi dilakukan oleh
pemulung sehingga tidak optimal. Pengolahan lebih lanjut dilakukan pada di
tempat pembuangan akhir dengan pengolahan pembakaran dengan insinerator, pengkomposan
dan daur ulang.
Gambar
3.2 Sistem Pengelolaan Sampah Kota Bandung
3. Permasalahan pengelolaan sampah di kota
Bandung
Sampai saat ini pemerintah daerah kota
Bandung masih terus berinovasi mencari solusi menangani permasalahan sampah. Permasalahan
ini menjadi krusial karena ada kemungkinan Bandung menjadi “kota sampah”
terulang kembali. Ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan yang dapat
menyebabkan terulang kembalinya Bandung lautan sampah. Permasalahan yang dapat
menyebabkan Bandung kota sampah jilid kedua antara lain:
a. Kesadaran
masyarakat Bandung yang masih rendah sehingga, dengan tingkat kesadaran
tersebut memberikan dampak yang indikatornya adalah produksi sampah kota
Bandung terus meningkat dari 7500M3/hari menjadi 8418M3/hari.
b. Kemampuan
pelayanan PD kebersihan kota Bandung yang terbatas. Kemampuan pelayanan
penangganan sampah sampai saat ini oleh PD kebersihan masih belum optimal, hal
tersebut terbukti lembaga ini hanya dapat melayani pengelolaan sampah hanya
sekitar 65%.
c. Sampah
organik merupakan komposisi terbesar dari sampah kota Bandung. Permasalahan
yang terjadi sampah yang dibuang masyarakat tidak memisahkan antara sampah
organik dan non organik.Hal tersebut menyebabkan pengelolaan sampah menjadi
lebih sulit dan tidak efesien.
d. Lahan
TPA yang terbatas. Luas daerah kota Bandung 16730 ha, hal tersebut menyebabkan
tempat penampung sampah akhir yang berada di kota Bandung sangat terbatas. Hal
tersebut mengakibatkan lokasi penampung harus ekspansi melalui kerja sama
dengan pemerintahan daerah tetangganya. Permasalahan koordinasi merupakan
permasalahan utama, apalagi kalau ada konflik dimasyarakat.
e. Penegakan
hukum (law inforcement) tidak konsisten. Pemerintah kota Bandung dan
DPRD kota Bandung telah mengeluarkan kebijakan yaitu Undang-undang No 11 tahun
2005: perubahan UU No 03 tahun 2005 Tentang penyelenggaraan ketertiban,
kebersihan dan keindahan. Pada undang-undang tersebut diatur mengenai
pengelolaan sampah dan sanksi-sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya. Akan
tetapi undang-undang tersebut tidak dilaksanakan tidak konsisten.
3.2 Solusi
1. Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah
secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill
bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan
menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus
bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang
semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga
dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut,
ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga
prinsip–prinsip baru.
Daripada
mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus
meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Sampah yang
dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang
secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur
seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang
produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut.
Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah. Pembuangan sampah yang
tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa
dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi atau mencemari
bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur ulang dan racun dapat menghancurkan
kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah
yang berasal dari produk-produk
sintetis
dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu
dirancang
ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan
penggunaan.
Program-program sampah kota harus
disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat
sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang
seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil
dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik,
ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau
pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang
ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam
sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah
zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan
daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang
terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di
negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan
komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota.
Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan
dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan
nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang
masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci
ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah
menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan
lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
2. Tanggung Jawab Produsen dalam
Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang,
bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang
jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya
tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan
Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR)
adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali
produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka
untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa
material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu
dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus
pelarangan terhadap material-material yang
berbahaya
dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan
penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan
pemilahan di sumber, komposting, dan daurulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem
alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator.
Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau
insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan
mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
3. Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat
pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang
dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian
tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang
dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik
atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling
tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang
umum.
Sampah yang secara potensial menularkan
penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi
non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini
biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila
dibandingkan dengan insinerator.
Banyak jenis sampah yang secara kimia
berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas
kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti
merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan
lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan
dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip
ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik
bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.
Sampah hasil proses industri biasanya
tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi
kebanyakan merupakan sampah yang
berbahaya secara kimia.
4. Produksi Bersih dan Prinsip 4R
Produksi Bersih (Clean Production)
merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan
untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya,
mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan
limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip yang
juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R
yaitu:
a. Reduce
(Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang
kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak
sampah yang dihasilkan.
b. Reuse
(Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah
barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang
disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang
sebelum ia menjadi sampah. 3) Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin,
barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua
barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan
industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
c. Replace
( Mengganti); teliti barang yang kita pakai
sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan
barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai
barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita
dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua
bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
5. Waste to Energy
Sampah kota Bandung 60-75% merupakan
bahan organik. Berdasarkan karakteristik dari sampah kota Bandung tersebut,
produk ini mempunyai potensi ekonomis tidak hanya untuk dijadikan kompos, akan
tetapi berpotensi untuk menjadi alteratif sumber energi. Energi yang dapat
dibuat dengan bahan baku sampah organik adalah energi biogas. Biogas in
merupakan energi yang dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat atau juga
dapat digunakan untuk menghasilkan energi listrik. Dampak penggunaan biogas
dari TPA untuk pembangkit listrik relatif tidak mempunyai dampak sampingan
dibandingkan dengan menggunakan bahan sampah secara langsung yang diperkirakan
bisa menghasilkan dioxin.
Langkah-langkah
yang dilakukan untuk menjadikan sampah sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTS) adalah sebagai berikut:
1)
Pemisahan Jenis Sampah
2)
Pembakaran Sampah
Sampah
padat dibakar di dalam incinerator. Hasil pembakaran adalah gas dan residu
pembakaran. Kelebihan sistem pembakaran ini adalah:
a)
Membutuhkan lahan yang relatif kecil dibanding sanitary landfill.
b)
Dapat dibangun di dekat lokasi industri.
c)
Residu hasil pembakaran relatif stabil dan hampir semuanya bersifat anorganik.
d)
Dapat digunakan sebagai sumber energi, baik untuk pembangkit uap, air panas,
listrik dan pencarian logam. Secara umum proses pembakaran di dalam incinerator
adalah:
a)
Sampah yang dibakar dimasukkan di dalam tempat penyimpanan atau penyuplai.
b)
Berikutnya, sampah diatur sehingga rata lalu dimasukkan ke dalam tungku
pembakaran.
c)
Hasil pembakaran berupa abu, selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai penutup
sampah pada landfill.
d)
Sedangkan hasil berupa gas akan dialirkan melalui cerobong yang dilengkapi
dengan scrubber atau ditampung untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit energi.
6. Pengolahan sampah Bandung Metropolitan
secara terpadu
Permasalahan sampah di kota Bandung
tidak berdiri sendiri, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh daerah-daerah
penyangga. Hal tersebut terjadi karena kegiatan ekonomi tidak dapat dibatasi
oleh batasan administrasi, selain transaksi ekonomi lintas daerah dampak
sampingnya terjadi juga transaksi sampah antar daerah.
Faktor lain pelunya keterpaduaan
pengelolaan sampah dikarenakan adanya keterbatasan masing-masing daerah,
terutama kota Bandung dari segi lahan yang terbatas sehingga tidak cukup luas
untuk mengadakan lahan untuk TPA. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu
adanya kerja sama antar daerah untuk pengelolaan sampah secara terpadu.
Keterpaduaan ini tidak hanya sinkronisasi pengelolaan administrative setiap
daerah akan tetapi dari segi teknis mulai dari penciptaan budaya sadar
lingkungan (pendidikan lingkungan, 4R, pengolahan sampah dan kebijakannya.
Keterpaduan tesebut dapat dijelaskan pada skema gambar dibawah ini.
Gambar
3.4 Pengolahan Sampah Bandung secara Terpadu
BAB
IV
PENUTUP
PENUTUP
Permasalahan sampah kota Bandung
merupakan permasalahan yang komplek yang penyelesaiannya memerlukan pedekatan
budaya dan koordinasi antara pemerintahan daerah kabupaten/kota baik segi
administratif maupun secara teknis operasional. Tentunya perlu adanya
keterpaduaan sistem pengelolaansampah terpadu minimal pada daerah metropolitan
Bandung dan hal tersebut tentunya perlu koordinasi dengen bantuan pemerintahan
provinsi Jawa Barat. Diharapkan keterpaduan sistem dan konsistensi kesepakatan
pengelolaan
sampah metropolitan Bandung dapat
menjadi solusi permasalahan sampah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Peraturan Daerah Kota Bandung No 11 Tahun
2005: Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Tentang
Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan.Bandung
Anonim, 2005. Rancangan undang-Undang Pengelolaan
Sampah, Kementrian
Lingkungan Hidup. Jakarta
Anonim, Undang-undang No 23 Tahun 1997: Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta
Anonim, 2005. Sampah Bandung Terancam tidak terangkut:
Artikel Harian Umum Pikiran Rakyat tanggal 22 Februari 2005. Bandung.
Anonim, 2007, Menanggani Sampah Kota Bandung:
Artikel Harian Sindo tanggal 31 Mei 2007. Jakarta.
Anonim, 1997, Ringkasan Agenda 21
Indonesia (Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan), Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup, United Nations
Development Program.
Catenese, A.J. and Sayder, J.C.,
1988, Perencanaan Kota, Wahyudi (Ed.), Edisi ke-II, Erlangga, Jakarta.
Sastrawijaya, A.T., 2000, Pencemaran
Lingkungan, Cet. II, Rineka Cipta, Jakarta.
Sipardi, I, 2003, Lingkungan Hidup
dan Kelestariannya, Cet. II, Alumni, Jakarta.
Soeriaatmadja, R.E., 1989, Ilmu
Lingkungan, Edisi ke-IV, ITB, Bandung.
Suripin, 2002, Pelestarian Sumber
Daya tanah dan Air, ANDI, Yogyakarta.
Tandjung, S.D., 1999, Pengantar Ilmu
Lingkungan, Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar